Recent Posts

Recent Comments

Popular Posts

Tutorial Blog

Katanya Temen Nih

Site Info

tab 1 - Click >> Edit

Friend Link

Diberdayakan oleh Blogger.

tab 3 - Click >> Edit

tab 2 - Click >> Edit

Tab 4 - Click >> Edit

Reader Community

About Me

Followers

Search

Rabu, 26 Oktober 2011

kabinet 100 menteri masa ORLA

Menjelang kejatuhan Presiden Soekarno dari kekuasaannya,maka Soekarno untuk menarik simpati rakyat membentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan (Kabinet Dwikora-II) atau lebih dikenal dengan “Kabinet 100 Menteri” yang umurnya tidak ada seumur jagung (24 Pebruari 1966 s/d 28 Maret 1966) ,susunan nya bisa dibaca dibawah tulisan ini. Tentu yang disampaikan kepada rakyat pada waktu itu tentu adalah demi menjawab kebutuhan saat itu,namun bahasa politik nya adalah “menarik simpati rakyat” pada masa itu. Soekarno membutuhkan dukungan yang kuat akibat peristiwa G30S/PKI serta kondisi perekonomian yang morat-marit . Kehilangan dukungan politik dari segenap elemen bangsa pada waktu itu membuat posisi Soekarno sangat sulit,popularitasnya menurun tajam,kesalahan ditimpakan kepada dirinya,rakyat & mahasiswa bergolak menuntut tidak henti-hentinya (Tritura). Itulah detik-detik akhir dari kekuasaan Soekarno sampai keluarnya Supersemar yang kontroversi serta susunan Kabinet Dwikora III (28 Maret 1966 s/d 25 Juli 1966) pun tidak berhasil membuat kekuasaan Soekarno pulih. Soekano akhirnya tumbang dari kekuasaan setelah Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia pada tgl.12 Maret 1967.

Nasib Presiden Soeharto pun hampir sama dengan kondisi Soekarno di akhir kekuasaannya. Detik-detik menjelang akhir kekuasaan,Soeharto berusaha membangun citra dengan membentuk Kabinet Reformasi & membubarkan Kabinet Pembangunan VII. Namun sebelum sempat Kabinet Reformasi itu diumumkan,beberapa Menteri yang dulunya “setia” kepada Soeharto mengundurkan diri. Maka goncanglah kekuasaan Soeharto & akhirnya hanya selang 2 hari dari niat membentuk Kabinet Reformasi,Presiden Soeharto mengundurkan diri & menyerahkan kekuasaan kepada Habibie (21 Mei 1998)

Naiknya SBY sebagai presiden pun penuh kontroversi,sampai sekarang ini ada yang meyakini bahwa SBY sebenarnya telah melakukan “kudeta halus” kepada Megawati Soekarnoputri. Dengan kepiawaian kepribadian santunnya,sang Jenderal seolah “disingkirkan” oleh Megawati untuk meraih simpati rakyat Indonesia yang memang saat itu tidak cukup puas dengan kepemimpinan Megawati akibat beberapa skandal korupsi yang melibatkan kader-2 PDI-P. Pemilu Presiden memang menjadi alat legitimasi SBY untuk naik menjadi presiden Republik Indonesia,seperti halnya beberapa presiden setelah Soekarno pun melakukan hal yang sama dengan legitimasi-legitimasi politik : Soeharto naik sebagai presiden dengan dukungan MPRS,Habibie naik dengan dukungan UUD 1945 yang memang memperbolehkan dirinya menjadi Presiden bilamana Presiden Soearto mengundurkan diri atau berhalangan tetap,Gus Dur menjadi Presiden berikutnya setelah MPR hasil Reformasi menetapkan dirinya menjadi Presiden walau partainya bukan pemenang Pemilu waktu itu,Megawati naik menjadi presiden berikutnya setelah Gus Dur di “impeach” oleh MPR.

Hukum Karma sepertinya akan terjadi juga pada diri SBY pada saatnya nanti. Popularitas yang terus menurun setelah 2 tahun pemerintahannya adalah akibat beberapa skandal korupsi yang melibatkan kader-2 Partai Demokrat. Ucapan-ucapannya dalam menegakkan pemberantasan korupsi pada saat kampanyenya dulu menjadi bumerang bagi dirinya. Politik pencitraan yang dibangun untuk menjatuhkan Megawati akhirnya menggerogoti dirinya sendiri. Rakyat mulai mengerti & tahu siapa SBY & keluarganya melalui tulisan-2 negatip dari berbagai sumber yang ada (George Aditjondro “Gurita Cikeas” dan bocoran The Wikileaks). Kinerja Kabinetnya yang amburadul dan membuat stagnan pembangunan ini dikritik habis-habisan oleh para pengamat. Para pemuka agama pun menelanjangi pemerintahan SBY dengan mengatakan pemerintahan ini membangun kebohongan-kebohongan,dsb.

Penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II hasil rshuffle yang akan segera diumumkan ternyata “mirip” dengan kejadian-2 Pemerintahan Soekarno,Soeharto,dst . Terlalu gemuk dan terlalu ingin mengakomodir berbagai kepentingan dan dukungan politik dari berbagai institusi . Para akademisi yang hanya berpengalaman teoritis & bukan praktis masuk menjadi Wakil Menteri yang jumlahnya sudah mencapai hampir 20 orang sampai hari ini. Bila itu menjadi satu dengan Menteri-2 yang akan diangkat,kemungkinan pejabat setingkat Menteri di KIB-II akan seperti Kabinet Dwikora II yang disempurnakan,karena Wakil Menteri dianggap sebagai pejabat yang Dwitunggal dari suatu Departemen.

Akankah drama pemerintahan SBY akan berakhir seperti para pendahulunya? Rakyat sedang menanti dengan berdebar,semoga saja tidak terjadi kerusuhan seperti Mei 1998 hanya untuk menurunkan sebuah pemerintahan yang tidak beres.

Tambahan :

Susunan Kabinet Dwikora II :
Perdana Menteri
1 Presiden / Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata / Mandataris MPRS / Pemimpin Besar Revolusi: Ir. Soekarno
Presidium
2 Wakil Perdana Menteri I : Dr. Subandrio
3 Wakil Perdana Menteri II : Dr. Johannes Leimena
4 Wakil Perdana Menteri III : Chaerul Saleh
5 Wakil Perdana Menteri IV : K.H. Idham Chalid
6 Menteri Penerangan diperbantukan ke Presidium :Mayjen Achmadi
Menteri Kompartimen

Kompartimen Luar Negeri

7 Menteri Koordinator : Dr. Subandrio

8 Menteri Luar Negeri & Hubungan Perdagangan Luar Negeri: Dr. Subandrio
Kompartimen Hukum & Dalam Negeri
9 Menteri Koordinator : Sartono
10 Menteri Dalam Negeri :Mayjen. Dr. Soemarno Sosroatmodjo
11 Menteri Kehakiman : A. Astrawinata
12 Menteri/Ketua Mahkamah Agung :Wirjono Prodjodikoro
13 Menteri/Jaksa Agung : Brigjen TNI A. Soethardhio
Kompartimen Pertahanan Keamanan / KASAB
14 Menteri Koordinator : Mayjen TNI Sarbini
15 Wakil Menteri Koordinator : Mayjen TNI Mursid
16 Menteri/Panglima Angkatan Darat : Letjen. TNI Soeharto
17 Menteri/Panglima Angkatan Laut : Laksda TNI Muljadi
18 Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut : Mayjen TNI Hartono
19 Menteri/Panglima Angkatan Udara : Marsda TNI Sri Muljono Herlambang
20 Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian : Irjen (Pol) Sutjipto Judodihardjo
Kompartimen Keuangan
21 Menteri Koordinator : Sumarno S.H.
22 Menteri Urusan Bank Sentral : Jusuf Muda Dalam
23 Wakil Menteri Bank Sentral : Arifin Harahap
24 Wakil Menteri Bank Sentral : Mohammad Hasan
25 Menteri Urusan Anggaran Negara : Drs. Surjadi
26 Menteri Iuran Negara : Brigjen (Pol) Drs. Hoegeng Imam Santoso
27 Menteri Urusan Perasuransian : Sutjipto S. Amidharmo
28 Menteri/Wakil Gubernur Pertama Bank Negara Indonesia : JD Massie
Kompartimen Pembangunan
29 Menteri Koordinator : Sultan Hamengkubuwono IX
30 Menteri Perburuhan : Sutomo
31 Menteri Urusan Research Nasional : Suhadi Reksowardojo
32 Menteri Urusan Minyak & Gas Bumi : Mayjen TNI Ibnu Sutowo
33 Menteri Pertambangan : Armunanto
34 Menteri Perindustrian Dasar : Brigjen TNI M. Jusuf
35 Menteri Pariwisata : Sultan Hamengkubuwono IX
Kompartimen Perindustrian Rakyat
36 Menteri Koordinator : Mayjen TNI Dr. Azis Saleh
37 Menteri Perindustrian Tekstil : Brigjen TNI D. Ashari
38 Menteri Perindustrian Ringan : Marsekal Muda Udara Suharnoko Harbani
39 Menteri Perindustrian Kerajinan : Hadi Thajeb
40 Menteri diperbantukan pada Menteri Koordinator Kompartimen Perindustrian Rakyat untuk “Berdikari” : T.D. Pardede
Kompartimen Pekerjaan Umum & Tenaga
41 Menteri Koordinator : Sutami
42 Menteri Listrik & Ketenagaan : Ir. Setiadi Reksoprodjo
43 Menteri Pengairan Dasar : Ir. P.C. Harjasudirdja
44 Menteri Binamarga : Brigjen TNI Hartawan Wirjodiprodjo
45 Menteri Ciptakarya & Konstruksi : David Chen Chung
46 Menteri Jalan Raya Sumatera : Ir. Bratanata
Kompartimen Pertanian dan Agraria
47 Menteri Koordinator : Sadjarwo S.H.
48 Menteri Pertanian : Sukarno
49 Menteri Perkebunan : Drs. Frans Seda
50 Menteri Kehutanan : Soedjarwo
51 Menteri Agraria : Rudolf Hermanses S.H.
52 Menteri Pengairan Rakyat & Pembangunan Desa : Ir. Surachman
Kompartimen Distribusi
53 Menteri Koordinator : Dr. J. Leimena
54 Menteri Perdagangan Dalam Negeri : Brigjen TNI Achmad Jusuf
55 Menteri Perhubungan Darat : Letjen TNI Hidajat
56 Menteri Perhubungan Pos dan Telekomunikasi : Marsekal Udara S. Surjadarma
57 Menteri Perhubungan Udara : Capt. Partono
58 Menteri Transmigrasi & Koperasi : Drs. Achadi
Kompartimen Maritim
59 Menteri Koordinator : Mayjen (KKO) Ali Sadikin
60 Menteri Perhubungan Laut : Mayjen (KKO) Ali Sadikin
61 Menteri Perikanan & Pengolahan Laut : Laksda (Laut) Hamzah Atmohandojo
62 Menteri Perindustrian Maritim : Mardanus
Kompartimen Kesejahteraan
63 Menteri Koordinator : H. Muljadi Djojomartono
64 Menteri Sosial : Ny. Rusiah Sardjono S.H.
65 Menteri Kesehatan : Mayjen TNI Prof. Dr. Satrio
Kompartimen Urusan Agama
66 Menteri Koordinator : Prof. K.H. Sjaifuddin Zuchri
67 Menteri Agama : Prof. K.H. Sjaifuddin Zuchri
68 Menteri Urusan Haji : Prof. K.H. Farid Ma’ruf
69 Menteri Urusan Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama : Marzuki Jatim
70 Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator Kompartimen Agama : K.H. Abdul Fattah Jasin
Kompartimen Pendidikan/Kebudayaan
71 Menteri Koordinator : Prof. Dr. Prijono
72 Menteri Pendidikan Dasar & Kebudayaan : Sumardjo
73 Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pengetahuan : J. Leimena
74 Menteri Olah Raga : Maladi
Kompartimen Perhubungan Dengan Rakyat
75 Menteri Koordinator : Dr. Roeslan Abdulgani
76 Menteri Penghubung MPR/DPR/DPA/Front Nasional: Ds. W.J. Rumambi
77 Menteri/Sekjen Front Nasional : JK Tumakaka
Menteri Negara
Menteri Negara/Penasehat Presiden
78 Menteri Penasehat Presiden Urusan Funds & Forces : Notohamiprodjo
81 Menteri Penasehat Presiden Urusan Keamanan Dalam Negeri : Jend. (Pol) Sukarno Djojonegoro
81 Menteri Penasehat Presiden Urusan Keamanan Dalam Negeri : Munandjat
82 Menteri Khusus Keamanan : Letkol. Sjafei
Menteri Negara diperbantukan kepada Presidium
83 Menteri Negara : Oei Tjoe Tat
84 Menteri Negara : Brigjen TNI Drs. Ahmad Sukendro
85 Menteri Negara : H. Aminuddin Aziz
86 Menteri Negara : Sudibjo
87 Menteri Negara : Brigjen TNI Mudjoko
Pejabat Negara
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
88 Wakil Perdana Menteri/Ketua MPRS : Chaerul Saleh
89 Wakil Ketua MPRS : Ali Sastroamidjojo
90 Wakil Ketua MPRS : Dr. K.H. Idham Chalid
91 Wakil Ketua MPRS : Mayjen TNI Wilujo Puspojudo
Pejabat Negara berkedudukan sebagai Menteri
97 Sekretaris Negara : M. Ichsan S.H.
98 Menteri/Ketua Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) : Mayjen TNI Wilujo Puspojudo
99 Wakil Ketua II DPA : Prof. Sujono Hadinoto S.H.
100 Wakil Ketua DPR-GR : Sjarif Thajeb
101 Wakil Ketua DPR-GR : Asmara Hadi
102 Wakil Ketua DPR-GR : Laksda (Laut) Mursalin Daeng Mamangung
103 Wakil Ketua DPR-GR : H.A. Syaichu
104 Pemeriksa Keuangan Agung Muda : Sukardan S.H.
105 Pemeriksa Keuangan Agung Muda : Drs. Radius Prawiro
106 Pemeriksa Keuangan Agung Muda : Mochtar Usman S.H.
107 Pemeriksa Keuangan Agung Muda : HA Pandelaki
108 Dirjen Badan Tenaga Atom Nasional : Prof. Dr. G.A. Siwabessy
109 Menteri Penasehat Presiden untuk Urusan Kepolisian : Komjen (Pol) Sunarto
110 Menteri/Komandan Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) : Marsekal Madya Omar Dhani
111 Menteri/Pimpinan Proyek Kopelapip : Kurwet Kartaadiredja
112 Menteri/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta : Mayjen TNI Dr. Soemarno Sosroatmodjo

Read more...

perkembangan ekonomi pada masa reformasi

Sejarah Ekonomi Indonesia sejak Orde Lama Hingga Era Reformasi
Sejarah Ekonomi Indonesia sejak Orde
Lama hingga Era Reformasi

1. Pemerintahan Orde Lama

Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, banyak sudah tokok-tokoh negara saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide, bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong adalah koperasi, namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan secara koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun 1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah semacam ekonomi campuran. Namun demikian dalam proses perkembangan berikutnya disepakatilah suatu bentuk ekonomi yang baru, dinamakan sebagai Sistem Ekonomi Pancasila, yang didalamnya mengandung unsur pentinga yang disebut Demokrasi Ekonomi.
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan yang akan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka menurut UUD’45, sistem perekonomian Indonesia tercermin dalam pasal-pasal 23, 27, 33. Dan 34.
Demokrasi Ekonomi dipilih, karena mempunyai ciri-ciri positif yang diantaranya adalah (Suroso, 1993) :
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara.
- Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan pemufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, serta pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga-lembaga perwakilan pula.
- Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
- Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatnnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
- Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
- Fakir miskin serta anak terlantar, dipelihara oleh pemerintah.
Sistem perekonomian di Indonesia sangat menentang adanya sistem Free Fight Liberalism, Etatisme (Ekonomi Komando) dan Monopoli, karena sistem ini memang tidak sesuai dengan sitem ekonomi yang dianut Indonesia (bertentangan).
Free fight liberalism : Sistem kebebasan usaha yang tidak terkendali, sistem ini dianggap tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia dan berlawanan dengan semangat gotong-royong yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33, dan dapat mengakibatkan semakin besarnya jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin.
Etatisme : Suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan. Negara adalah sumbu yang menggerakkan seluruh elemen politik dalam suatu jalinan rasional, yang dikontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan. Keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan juga dapat mematikan motivasi dan kreasi dari masyarakat untuk dapat berkembang dan bersaing sehat.
Monopoli : suatu bentuk pemusatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti keinginan sang monopoli.
Meskipun pada awal perkembangan perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi pancasila, ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem etatisme, pernah juga memberi corak perekonomian di tahun 1960-an sampai dengan pada masa orde baru.

2. Pemerintahan Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagai masa pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama yang di pimpin oleh Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas china indonesia terutama dari komunitas pengobatan china tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa china indonesia bejanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan bagi Ikatan Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan pengurus nya pada waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat china indonesia dan kesehatan rakyat indonesia. Hingga china indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam menggunakan bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang china indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
* Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta huruf
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)\
* Sukses Gerakan Wajib Belajar
* Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
§ Semaraknya korupsi, kolusi dan nepotisme
§ Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian lagi disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat.
§ Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan terutama di Aceh dan Papua.
§ Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertannya.
§ Bertambahnya kesenjangan sosial diakibatkan karena perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi yang kaya dan yang miskin.
§ Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa).
§ Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.
§ Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
§ Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “penembakan misterius”.
§ Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).
§ Menurut kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit ‘Asal Bapak Senang’, hal ini adalah kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
§ Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".

3. Pemerintahan Transisi
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Pemerintahan transisi merupakan peralihan antara pemerintahan zaman Soeharto ke pemerintahan B.J. Habibie.

4. Pemerintahan Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.

Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi

Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers

Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).

d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

5. Pemerintahan Gotong Royong

Kabinet Gotong Royong adalah kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2004.
Kinerja Pemerintahan Megawati Soekarnoputri sangat mengecewakan. Megawati tidak tampil sebagai seorang presiden, melainkan lebih sebagai ketua umum partai. Akibatnya, roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana diharapkan banyak orang dan cita-cita reformasi.

Penilaian itu dilontarkan Kelompok Kerja (Pokja) Petisi 50 dalam evaluasi akhir tahun Petisi 50 yang berjudul "Catatan Akhir Tahun 2002, Pernyataan Keperihatinan".

Sebagai pemimpin bangsa, menurut Petisi 50, Presiden Megawati sangat mudah dipengaruhi. Selain itu, para pembantunya di jajaran kabinet kelihatan sangat tidak solid. Hal itu terjadi karena para menteri masing-masing mengusung kepentingan partai politik (parpol) dari mana mereka berasal.

6. Pemerintahan Indonesia Bersatu

PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID I (ERA SBY-JK) == (2004-2009)

Kabinet Indonesia Bersatu (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember 2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007)
Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID II (ERA SBY – BOEDIONO) == (2009-2014)
Kabinet Indonesia Bersatu II (Inggris: Second United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 yang mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1. BI rate
2. Nilai tukar
3. Operasi moneter
4. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kinerja Pemerintahan SBY - Tak terasa sudah 1 tahun pemerintahan SBY jilid II berjalan, Namun masih saja dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa kalangan. Dan kali ini pengamat ekonomi dunia pun ikut bicara terkait dengan kinerja pemerintahan SBY yang sudah 1 tahun ini. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Di mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja pemerintahan SBY tidak lepas dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Apa pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?
Sampai saat ini dilihat kinerja pemerintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.
Meski pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan memilih lepas saja.
Kinerja para menteri terkait dengan performa pemimpinnya. Karena sikap presidennya sebagai leader tidak bagus tentu saja para menterinya juga tidak bagus kerjanya. Apalagi pemilihan anggota kabinet berdasarkan bagi-bagi kekuasaan supaya aman di parlemen. Hasilnya yang terjadi pemilihan bukan berdasarkan kapabilitas dan akuntabilitas. Melainkan berdasarkan jatah anggota koalisi.

Read more...

susunan kabinet KIB II

Banyak media ataupun pengamat politik yang memprediksi Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Banyak yang bilang, kabinet ini hanya “memfasilitasi” partai pendukung koalisi dan hanya segelintir teknokrat atau profesional yang masuk di kabinet duet SBY-Boediono ini. Meskipun calon menteri diaudisi layaknya kontes dangdut, belum tentu adalah pilihan terbaik.

Susunun Kabinet versi Detik.com (Senin, 19/10/2009 )

1. Menko Polhukam: Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Mensesneg: Sudi Silalahi
5. Menneg PAN: Gamawan Fauzi
6. Menkeu: Sri Mulyani
7. Mendag: Mari Elka Pangestu
8. Mendiknas: Mohammad Nuh
9. Menag: Suryadharma Ali
10. Menkominfo: Tifatul Sembiring
11. Menteri Koperasi & UKM: Syarif Hasan
12. Menneg Pora: Andi Mallarangeng
13. Menneg PDT: Helmy Faishal Zaini
14. Menbudpar: Jero Wacik
15. Menakertrans: Muhaimin Iskandar
16. Mendagri: EE Mangindaan
17. Menkes: Nila Juwita Anfasa Moeloek
18. Mensos: Salim Segaf Al Jufri
19. Menneg BUMN: Mustafa Abubakar
20. Menpera: Suharso Manoarfa
21. Menhut: Zulkifli Hasan
22. Menkum HAM: Patrialis Akbar
23. Menneg PP & Urusan Anak: Linda Agum Gumlar
24. Menristek: Suharna Suryapranata
25. Menneg LH: Gusti Muhammad Hatta
26. Menteri PU: Djoko Kirmanto
27. Menperin: MS Hidayat
28. Menteri ESDM: Darwin Saleh
29. Menhan: Purnomo Yusgiantoro
30. Mentan: Suswono
31. Menhub: Freddy Numberi
32. Menlu: Marty Natalegawa
33. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
34. Menneg PPN/Kepala Bappenas: Armida Alisjahbana

Jabatan setingkat menteri:

1. Kepala BIN: Jenderal (Purn) Sutanto
2. Kepala BKPM: Gita Wirjawan

[Update] Pidato SBY di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/10) pukul 22.00.

1. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan: Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi
6. Menteri Luar Negeri: Marty Natalegawa
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro
8. Menteri Hukum dan HAM: Patrialis Akbar
9. Menteri Keuangan: Sri Mulyani
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Darwin Zahedy Saleh
11. Menteri Perindustrian: MS Hidayat
12. Menteri Perdagangan: Mari Elka Pangestu
13. Menteri Pertanian: Suswono
14. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan
15. Menteri Perhubungan: Freddy Numberi
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto
19. Menteri Kesehatan: Endang Rahayu Sedyaningsih
20. Menteri Pendidikan Nasional: M Nuh
21. Menteri Sosial: Salim Assegaf Aljufrie
22. Menteri Agama: Suryadharma Ali
23. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik
24. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring
25. Menneg Riset dan Teknologi: Suharna Surapranata
26. Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM: Syarifudin Hasan
27. Menneg Lingkungan Hidup: Gusti Moh Hatta
28. Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Agum Gumelar
29. Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: EE Mangindaan
29. Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faisal Zaini
31. Menneg PPN/Kepala Bappenas: Armida Alisjahbana
32. Menneg BUMN: Mustafa Abubakar
33. Menneg Perumahan Rakyat: Suharso Manoarfa
34. Menneg Pemuda dan Olahraga: Andi Mallarangeng

Pejabat Negara:
1. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan: Kuntoro Mangkusubroto
2. Kepala BIN (Badan Intelijen Negara): Jenderal Pol Purn Sutanto
3. Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal): Gita Wirjawan

Semoga jika nantinya yang diatas benar-benar menjabat sebgai abdi negara, akan benar-benar melkasnakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan tentunya menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi, partai, dan golongannya.

Read more...

resuffle KIB I

Perombakan kabinet atau reshuffle sebetulnya bukan peristiwa politik baru dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru. Semua presiden yang pernah memimpin negara ini–dari 1999 hingga kini—memiliki cara masing-masing dalam menyikapi kritik yang diarahkan kepada kabinet mereka.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merancang Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid pertama (2004-2009) dengan mempertimbangkan berbagai aspek demi menjaga stabilitas pemerintahannya selama 5 tahun. Kabinet yang beranggotakan 36 menteri ini hasil akomodasi Presiden dengan berbagai unsur yang dinilai bisa menyokong jalannya pemerintahan.

Ciri utama KIB I adalah struktur menteri koordinator dipertajam agar bisa memfokuskan diri pada program-program utama, yaitu penegakan hukum dan pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yudhoyono juga merekrut pejabat-pejabat pada kabinet presiden sebelumnya. Dengan komposisi demikian, tidak salah kabinet ini dijuluki sebagai ”Kabinet Pelangi” atau ”Kabinet Daur Ulang Plus”.

Kenyataannya, meski dirancang seakomodatif mungkin, ancaman reshuffle tetap saja membayang. Pada periode pertama masa pemerintahannya, Yudhoyono merombak posisi 13 menterinya, tahun 2005 sebanyak 6 menteri dan tahun 2007 sebanyak 7 menteri diganti. Pada periode kedua pemerintahannya, Yudhoyono baru mengganti satu menteri pada tahun 2010.

Berbeda dengan Yudhoyono, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kabinet dengan jumlah menteri lebih sedikit, 35 orang. Meski demikian, Kabinet Persatuan Nasional ini banyak disoroti lantaran para menterinya kebanyakan muka baru dan ditengarai kurang berpengalaman teknis di bidangnya. Kondisi ini diperparah dengan gaya kepemimpinan Gus Dur yang gampang memberhentikan menterinya.

Sejak dilantik pada 26 Oktober 1999 hingga Mei 2000, paling tidak ada 7 anggota kabinet yang diganti, di antaranya Laksamana Sukardi, Jusuf Kalla, dan Kwik Kian Gie. Untuk mengefektifkan pemerintahannya, pada Agustus 2000, Presiden merombak kembali kabinetnya dengan jumlah menteri lebih sedikit lagi, yaitu 27 orang. Inilah kabinet paling ramping sepanjang era reformasi.

Relatif stabil

Kabinet Gotong Royong yang dibentuk Megawati Soekarnoputri pada 9 Agustus 2001 prosesnya tidak sekompleks pembentukan KIB atau tidak seramping Kabinet Persatuan Nasional. Namun, kabinet ini sempat memunculkan optimisme publik karena beberapa menterinya—terutama tim ekonomi—dinilai sebagai orang yang tepat di posisi yang tepat. Tim ekonomi dalam kabinet ini lalu dipandang sebagai ”the Dream Team” bagi pemulihan ekonomi Indonesia.

Sebut saja Menko Ekuin Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang memiliki akses ke lembaga-lembaga internasional dan Menteri Keuangan Boediono yang sudah lama bergelut di dunia perbankan. Dua sektor yang menjadi penggerak utama roda perekonomian nasional sudah berada di tangan yang tepat.

Meskipun secara politis terdapat gesekan antarmenteri dalam kabinet, Kabinet Gotong Royong terbilang relatif stabil karena jarang terdengar ada isu reshuffle pada kabinet ini. Selama masa pemerintahannya, Presiden Megawati tidak pernah mengganti satu pun menterinya. Gejolak hanya terjadi ketika masa pemerintahan Megawati memasuk tahap-tahap akhir, ketika para menterinya mengundurkan diri karena ikut dalam pencalonan presiden. (Sultani/Litbang Kompas)

Read more...

masa pemerintahan gusdur

PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Pendahuluan

Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan melahirkan 3 orang presiden.

Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi kebutuhan masyarakat secara umum.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government.

Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa. Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif demokratis.

Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan.

Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program 100 hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga yang melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.

Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa

Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya benar-benar telah membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi yang sangat fundmental yakni kebebasan berpendapat dan berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam waktu sekejap dapat didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi Habibie patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.

Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta telah melahirkan bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang Pemilu, kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan yang bertameng ‘moralitas’ dengan mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa mayoritas rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka Gus Dur menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.

Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir muncul untuk mencari makna di balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap pencalonan Gus Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan Yusril Ihza Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.

Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur menyatakan diri siap dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan pencalonan dari Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur menerimanya secara terbuka.

Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk mencairkan ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan datang ke Jakarta untuk mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika Megawati tidak terpilih menjadi Presiden.

Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat Presiden Habibie dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap mati demi mempertahankan Habibie.

Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi masa tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap mampu untuk menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas, menerima pencalonan dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.

Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membutuhkan pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap arif dalam melihat dan memahami persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya perdebatan membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib bangsa justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.

Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk menyelesaikan dan manjawab masalah secara lansung. Dalam rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu tampil kedepan menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat mengawal proses perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa.

Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden saat itu sebenarnya bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya melawan kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah perpolitikan Indonesia melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan memelihara kepentingan bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.

Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai benturan kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut kekuasaan. Dalam kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran semua warga bangsa untuk tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak urgensi pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan bangsa yang ada.

Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur

Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.

Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik. Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.

Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI.§

Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu.

Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.

Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah, baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah “feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.

Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.

Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui lembaga politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang paling urgen tentunya, Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para pendukungnya, paling tidak dapat mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah, perjalanan pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai kepentingan individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri terlibat dalam kasus KKN yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal lainnya, seperti bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi juga Good Governance dan Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan tindakan Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan agama dengan sikap dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata sangat bertolak belakang.

Analisis

Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur mempertahankan koalisi yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya. Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene partai pendukungnya, juga membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu percaya dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga, Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda, sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh seluruh komponen bangsa yang ada.

Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat atau tindakannya. Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap pendapat Kiyainya, sekalipun dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang murid atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau kritik itu bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.

Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren selalu menyertainya. Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan atau status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari Sultan Brunai diterima oleh dia yang telah menjabat sebagai Presiden bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara, akan tetapi diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja kepemimpinannya.

Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan luas, berpergaulan luas, orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci utama manajerial adalah bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan efektif.

Read more...

jaman reformasi

Latar belakang jatuh/berakhirnya orde baru:
· Krisis politik
Pemerintah orde baru, meskipun mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi dan memberikan kemajuan, gagal dalam membina kehidupan politik yang demokratis, terbuka, adil, dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter, tertutup, dan personal. Masyarakat yang memberikan kritik sangat mudah dituduh sebagai anti-pemerintah, menghina kepala negara, anti-Pancasila, dan subversive. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah terwujud dan Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu diperalat oleh pemerintah orde baru untuk mengamankan kehendak penguasa.
Praktik KKN merebak di tubuh pemerintahan dan tidak mampu dicegah karena banyak pejabat orba yang berada di dalamnya. Dan anggota MPR/DPR tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar karena keanggotaannya ditentukan dan mendapat restu dari penguasa, sehingga banyak anggota yang bersikap ABS daripada kritis.
Sikap yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta merebaknya KKN menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini terlihat pada pemilu 1992 ketika suara Golkar berkurang cukup banyak. Sejak 1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap orba mulai terbuka. Muncul tokoh vokal Amien Rais serta munculnya gerakan mahasiswa semakin memperbesar keberanian masyarakat untuk melakukan kritik terhadap pemerintahan orba.
Masalah dwifungsi ABRI, KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik adalah masalah yang menjadi sorotan tajam para mahasiswa pada saat itu. Apalagi setelah Soeharto terpilih lagi sebagai Presiden RI 1998-2003, suara menentangnya makin meluas dimana-mana.
Puncak perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil menduduki gedung MPR/DPR pada bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei 1998 Presiden menyatakan berhenti dan diganti oleh wakilnya BJ Habibie.
· Krisis ekonomi
Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara telah merembet ke Indonesia, sejak Juli 1997, Indonesia mulai terkena krisis tersebut. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika terus menurun. Akibat krisis tersebut, banyak perusahaan ditutup, sehingga banyak pengangguran dimana-mana, jumlah kemiskinan bertambah. Selain itu, daya beli menjadi rendah dan sulit mencari bahan-bahan kebutuhan pokok.
Sejalan dengan itu, pemerintah melikuidasi bank-bank yang bermasalah serta mengeluarkan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk menyehatkan bank-bank yang ada di bawah pembinaan BPPN. Dalam praktiknya, terjadi manipulasi besar-besaran dalam KLBI sehingga pemerintah harus menanggung beban keuangan yang semakin besar. Selain itu, kepercayaan dunia internasional semakin berkurang sejalan dengan banyaknya perusahaan swasta yang tak mampu membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Untuk mengatasinya, pemerintah membentuk tim ekonomi untuk membicarakan utang-utang swasta yang telah jatuh tempo. Sementara itu, beban kehidupan masyarakat makin berat ketika pemerintah tanggal 12 Mei 1998 mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos angkutan. Dengan itu, barang kebutuhan ikut naik dan masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup.
· Krisis sosial
Krisis politik dan ekonomi mendorong munculnya krisis dalam bidang sosial. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta krisis ekonomi yang ada mendorong munculnya perilaku yang negatif dalam masyarakat. Misalnya: perkelahian antara pelajar, budaya menghujat, narkoba, kerusuhan sosial di Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di Banyuwangi dan Boyolali serta kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan Solo.
Akibat kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14, dan 15 Mei 1998, perekonomian kedua kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu karena banyak swalayan, pertokoan, pabrik dibakar, dirusak dan dijarah massa. Hal tersebut menyebabkan angka pengangguran membengkak.
Beban masyarakat semakin berat serta tidak ada kepastian tentang kapan berakhirnya krisis tersebut sehingga menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi tersebut membahayakan karena mudah diadu domba, mudah marah, dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.

2. Kronologi mundur/berakhirnya kekuasaan Soeharto:
5 Maret 1998
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI

11 Maret 1998
Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden

14 Maret 1998
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.

15 April 1998
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan unjukrasa menuntut dilakukannya reformasi politik.

18 April 1998
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.

1 Mei 1998
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.

2 Mei 1998
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (tahun 1998).

4 Mei 1998
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak (2 Mei 1998) dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.

5 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa besar - besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.

9 Mei 1998
Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G -15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.

12 Mei 1998
Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai. Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.

13 Mei 1998
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.

14 Mei 1998
Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo. Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek seperti Supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana dan Borobudur. Beberapa dari bangunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.

15 Mei 1998
Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah mengatakan bersedia mengundurkan diri. Suasana Jakarta masih mencekam. Toko-toko banyak ditutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.

16 Mei 1998
Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih mencekam.

19 Mei 1998
Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur.

Permintaan tersebut ditolak Soeharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada saat itu Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden. Namun hal itu tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke Gedung MPR untuk berunjukrasa semakin banyak.

Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

20 Mei 1998
Jalur jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade petugas dengan pagar kawat berduri untuk mencegah massa masuk ke komplek Monumen Nasional namun pengerahan massa tak jadi dilakukan. Pada dinihari Amien Rais meminta massa tak datang ke Lapangan Monumen Nasional karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR / DPR. Mereka terus mendesak agar Soeharto mundur.

21 Mei 1998
Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden dan BJ. Habibie disumpah menjadi Presiden RI ketiga.

3. Indonesia masa pemerintahan B.J. Habibie:
Kebijakan-kebijakan pada masa Habibie:
· Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan dari Golkar, PPP, dan PDI.
· Mengadakan reformasi dalam bidang politik
Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya Serikat Buruh Independen.
Kebebasan menyampaikan pendapat.
Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
· Refomasi dalam bidang hukum
Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan bila berhubungan dengan penguasa.
· Mengatasi masalah dwifungsi ABRI
Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil. Dari hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/MPR makin berkurang dan akhirnya ditiadakan.
· Mengadakan sidang istimewa
Sidang tanggal 10-13 November 1998 yang diadakan MPR berhasil menetapkan 12 ketetapan.
· Mengadakan pemilu tahun 1999
Pelaksanaan pemilu dilakukan dengan asas LUBER (langsung, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan adil).

Masalah yang ada yaitu ditolaknya pertanggung jawaban Presiden Habibie yang disampaikan pada sidang umum MPR tahun1999 sehingga beliau merasa bahwa kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden lagi sangat kecil dan kemudian dirinya tidak mencalonkan diri pada pemilu yang dilaksanakan.

4. Indonesia masa pemerintahan Abdurrahman Wahid:
Kebijakan-kebijakan pada masa Gus Dur:
· Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama, memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
· Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
· Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.

Masalah yang ada:
· Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
· Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.
· Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran Golkar. Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, Polri dan partai politik serta masyarakat sehingga dekrit tersebut malah mempercepat kejatuhannya. Dan sidang istimewa 23 Juli 2001 menuntutnya diturunkan dari jabatan.

5. Indonesia masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri:
Kebijakan-kebijakan pada masa Megawati:
· Memilih dan Menetapkan
Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan dunia internasional berkurang.
· Membangun tatanan politik yang baru
Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan pemilihan presiden dan wapres.
· Menjaga keutuhan NKRI
Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon, Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur dari RI.
· Melanjutkan amandemen UUD 1945
Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
· Meluruskan otonomi daerah
Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan terhadap daerah-daerah.

Tidak ada masalah yang berarti dalam masa pemerintahan Megawati kecuali peristiwa Bom Bali dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan.

6. Indonesia masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono:
Kebijakan-kebijakan pada masa SBY:
· Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
· Konversi minyak tanah ke gas.
· Memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
· Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
· Buy back saham BUMN
· Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil.
· Subsidi BBM.
· Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
· Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan "Visit Indonesia 2008".
· Pemberian bibit unggul pada petani.
· Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Masalah yang ada:
· Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
· Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
· Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
· Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok.
· Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
· Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’. Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.

7. Dampak reformasi bagi rakyat Indonesia:
· Pemerintahan orde baru jatuh dan muncul era reformasi. Namun reformasi dan keterbukaan tidak diikuti dengan suasana tenang, aman, dan tentram dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Konflik antar kelompok etnis bermunculan di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh masalah-masalah sosial, ekonomi dan agama.
· Rakyat sulit membedakan apakah sang pejabat bertindak sebagai eksekutif atau pimpinan partai politik karena adanya perangkapan jabatan yang membuat pejabat bersangkutan tidak dapat berkonsentrasi penuh pada jabatan publik yang diembannya.
· Banyak kasus muncul ke permukaan yang berkaitan dengan pemberian batas yang tegas pada teritorial masing-masing wilayah, seperti penerapan otonomi pengelolaan wilayah pengairan.
· Pemerintah tidak lagi otoriter dan terjadi demokratisasi di bidang politik (misalnya: munculnya parpol-parpol baru), ekonomi (misalnya: munculnya badan-badan umum milik swasta, tidak lagi melulu milik negara), dan sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah).
· Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus dikurangi (sejak 2004, wakil militer di MPR/DPR dihapus).


8. Latar belakang munculnya reformasi:
· Bidang politik
Munculnya reformasi di bidang politik disebabkan oleh adanya KKN, ketidakadilan dalam bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokratis) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta munculnya demo mahasiswa yang menginginkan pembaharuan di segala bidang.
· Bidang ekonomi
Munculnya reformasi di bidang ekonomi disebabkan oleh adanya sistem monopoli di bidang perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang yang dekat dengan pemerintah akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan, bahkan mampu berbuat apa saja demi keberhasilan usahanya.
Selain itu juga disebabkan oleh krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehingga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan angka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan krisis perbankan.
Hal-hal tersebut membuat perlu dilakukannya tindakan-tindakan yang cepat dan tepat untuk mengatasinya.
· Bidang sosial
Krisis ekonomi dan politik pada masa pemerintahan orde baru berdampak pada kehidupan sosial di Indonesia. Muncul peristiwa pembunuhan dukun santet di Situbondo, perang saudara di Ambon, peristiwa Sampit, beredar luasnya narkoba, meningkatnya kejahatan, pembunuhan, pelacuran. Hal tersebut membuat diperlukannya tindakan yang cepat dan tepat.

Read more...

PROSES GERAKAN REFORMASI DI INDONESIA

A.Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia
Setelah Perang Dunia II berakhir ternyata muncul dua negara super power di dunia yang saling berebut pengaruh di berbagai kawasan dunia. Dua kekuatan itu adalah yaitu Amerika Serikat yang berhaluan demokrasi-kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan sosialis-komunis.
Perang dingin berdampak pada peta perpolitikan dunia pada saat itu, sehingga dunia seolah terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: negara-negara Blok Barat yang menganut paham demokrasi, negara-negara Blok Timur yang menganut paham komunis dan negara-negara Non Blok yang tidak memihak Blok Barat dan tidak memihak Blok Timur.
1.Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pada Masa Perang Dingin
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia lebih condong kepada negara-negara Blok Barat dalam rangka mendapatkan pinjaman dana dari negera-negara tersebut untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang hampir mengalami kebangkrutan. Dengan adanya pinjaman ini secara tidak langsung Indonesia mulai dipengaruhi oleh Blok Barat yang tercermin dari kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia yang cenderung pro-Barat, walaupun tetap berusaha untuk netral dengan tidak memihak salah satu blok yang ada.
2.Peran Lembaga Keuangan Internasional Terhadap Pemerintah Orde Baru
Pada masa Orde Baru setahap demi setahap bisa keluar dari keterpurukan ekonomi melalui bantuan dari negara-negara Barat. Perbaikan ekonomi dilakukan dalam bentuk pembangunan yang disebut dengan rencana pembangunan lima tahun. Adapun negara-negara Barat yang membantu Indonesia tersebut dalam bentuk konsorsium yang dinamakan IGGI (Inter-Gouvernmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Italia, dan Swiss. Negara-negara maju tersebut pada tanggal 23-24 Pebruari 1967 diadakan pertemuan di Amsterdam (Belanda) menyepakati membentuk badan IGGI untuk memberi kredit kepada Indonesia dengan bantuan pinjaman syarat-syarat ringan.

B.Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Perjalanan panjang sejarah Orde Baru di Indonesia dapat melaksanakan pembangunan sehingga mendapat kepercayaan dalam dan luar negeri. Mengalawai perjalannya pada dasawarsa 60-an rakyat sangat menderita pelan-pelan keberhasilan pembangunan melalui tahapan dalam pembangunan lima tahun (Pelita) sedikit demi sedikit kemiskinan rakyat dapat dientaskan. Sebagai tanda terima kasih kepada pemerintah Orde Baru yang berhasil membangun negara, Presiden Soeharto diangkat menjadi "Bapak Pembangunan ".
Temyata keberhasilan pembangunan tersebut tidak merata, maka kemajuan Indonesia temyata hanya semu belaka. Ada kesenjangan yang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin. Rakyat mengetahui bahwa hal ini disebabkan cara-cara mengelola negara yang tidak sehat ditandai dengan merajalela korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Protes dan kritik masyarakat seringkali dilontarkan namun pemerintah Orba seolah-olah tidak melihat, dan mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju kepada kebijaksanaan pemerintah selalu dituduh sebagai "PKI", subversi, dan sebagainya.
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah, seakan menjerit lebih-lehih banyak perusahaan yang terpaksa melakukan "PHK" karyawannya. Diperburuk lagi dengan kurs rupiah terhadap dolar sangat rendah. Disinilah para mahasiswa, dosen, dan rakyat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Setiap hari mahasiswa dan rakyat mengadakan demonstrasi mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998, dengan berani meneriakkan reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berupaya untuk memperbaiki program Kabinet Pembangunan VII dengan menggantikan dengan nama Kabinet Reformasi, namun tidak mendapat tanggapan rakyat. Pada hari berikutnya tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden Prof. DR. B.J. Habibie.
2.Krisis Ekonomi
Diawali krisis moneter yang melanda Asia Tenggara sejak bulan Juli 1997 berimbas pada Indonesia, bangunan ekonomi Indonesia temyata belum kuat untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 pada 1 Agustus 1997. Tercatat di bulan Desmeber 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai R. 5.000,00 perdolar, bahkan mencapai angka Rp. 16.000,00 perdolar pada sekitar Maret 1997.
Nilai tukar rupiah semakin melemah,pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 % sebagai akibat lesunya ikiim bisnis. Kondisi moneter mengalami keterpurukan dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan Maret 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (K.LBI), temyata tidak membawa hasil sebab pinjaman BLBI terhadap bank bermasalah tersebut tidak dapat mengembalikan. Dengan demikian pemerintah harus menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya kepercayaan dunia intemasional mulai menurun. Krisis moneter ini akhimya berdampak pada krisis ekonomi sehingga menghancurkan sistem fundamental perekonomian Indonesia.
a.Utang Negara Republik Indonesia.
Penyebab krisis diantaranya adalah utang luar negeri yang sangat besar, terhitung bulan Pebruari 1998 pemerintah melaporkan tentang utang luar negeri tercatat :
utang swasta nasional Rp. 73,962 miliar dolar AS + utang pemerintah Rp. 63,462 miliar dolar AS, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424 miliar dolar AS. Data ini diperoleh dari pernyataan Ketua Tim Hutang-Hutang Luar Negeri Swasta (HLNS), Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada 6 Pebruari 1998.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal harganya. Mereka tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangannya. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat karena kolusi dan korupsi.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kurang memperhatikan dengan seksama kondisi riil masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah, sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri. Akibatnya yang terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun gross national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai diatas US$ 1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat sebenamya, karena uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat. Rakyat secara umum masih miskin dan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi kapitalis yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli korupsi, dan kolusi.
c. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Masa Orde Baru dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme menyebabkan runtuhnya perekonomian Indonesia. Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum, dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan menjadi pemicu lahimya reformasi di Indonesia.
Walaupun praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme ini telah merugikan banyak pihak, termasuk negara tapi tidak dapat dihentikan karena dibelakangnya ada suatu kekuatan yang tidak tersentuh hukum.
d. Politik Sentralisasi
Pemerintahan Orde Baru menjalankan politik sentralistik, yakni bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya peranan pemerintah pusat sangat menentukan, sebaliknya pemerintah daerah tidak 'punya peran yang signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah diangkut ke pusat pembagian yang tidak adil inilah menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan pemerintah daerah. Akibatnya mereka menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya (Papua).
Proses sentralisasi bisa dilihat adanya pola pemberitaan pers yang Jakarta sentries. Terjadinya banjir informasi dari Jakarta (pusat) sekaligus dominasi opini dari pusat. Pola pemberitaan yang cenderung bias Jakarta, terutama di halaman pertama pers. Kecenderuangan ini sangat mewamai pola pemberitaan di halaman pertama pers di daerah.
3.Krisis Politik
Krisis politik pada akhir orde baru ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan, Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang didukung fmansial maupun secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih suara mayoritas. Golkar yang pada mulanya disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu tahun sebelum peristiwa G30S/PKI tepatnya lahir pada tanggal 20 Oktober 1964. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah. Disamping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 Nopember 1971 ikut menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya. Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satupun kritik dari infra struktur politik ini yang berani mencundangi dirinya.
K-emenangan Golongan Karya dinilai oleh para pengamat politik di Indonesia dan para peninjau asing dalam pemilu yang tidakjujur dan adil (jurdil) penuh ancaman dan intimidasi terhadap para pemilih di pedesaan. Dengan diikuti dukungan terhadap Jenderal (Pum) Soeharto selaku ketua dewan pembina Golkar untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR tahun 1998 temyata mayoritas anggota DPR/MPR mendukung Soeharto menjadi presiden untuk periode 1998-2003.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya menimbulkan permasalahan masa pemerintahan Orde Barn, kedaulatan rakyat ada ditangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang pihak penguasa. Kedaulatan ditangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya MPR dilaksanakan de jure secara de facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggotanya diangkat dengan sistem keluarga (nepotisme).
Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan rektomya menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Gerakan reformasi menuntut pembaharuan lima paket undang-undang politik yang menjadi sumber ketidakadilan, yaitu : (1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum; (2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, Tugas, dan wewenang DPR/MPR; (3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya; (4) UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum; (5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang organisasi masa.
4. Krisis Hukum.
Orde Baru banyak terjadi ketidak adilan dibidang hukum, dalam kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 UUD 1945 seharusnya memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan eksekutif, tapi Kenyataannya mereka dibawah eksekutif. Dengan demikian pengadilan sulit terwujud bagi rakyat, sebab hakim harus melayani penguasa. Sehingga sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.
Reformasi diperlukan aparatur penegak hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprodensi, ajaran-ajaran hukum, dan bentuk praktek hukum lainnya. Juga kesiapan hakim, penyidik dan penuntut, penasehat hukum, konsultan hukum dan kesiapan sarana dan prasarana.
5.Krisis Kepercayaan
Pemerintahan Orde Baru yang diliputi KKN secara terselubung maupun terang-terangan pada bidang parlemen, kehakiman, dunia usaha, perbankan, peradilan, pemerintahan sudah berlangsung lama sehingga disana-sini muncul ketidakadilan, kesenjangan sosial, rusaknya system politik, hukum, dan ekonomi mengakibatkan timbul ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintahan dan pihak luar negeri terhadap Indonesia
C.Gerakan Reformasi Indonesia
Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Dengan semangat reformasi, rakyat menghendaki pergantian pemimpin bangsa dan negara sebagai langkah awal, yang menjadi pemimpin hendaknya berkemampuan, bertanggungjawab, dan peduli terhadap nasib bangsa dan negara.
Reformasi adalah pembaharuan radikal untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian reformasi merupakan penggantian susunan tatanan perikehidupan lama menjadi tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan.
Reformasi yang digalang sejak 1998 merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru, maka diperlukan agenda reformasi yang jelas dengan penetapan skala prioritas, pentahapan pelaksanaan, dan kontrol agar tepat tujuan dan sasaran.
1. Tujuan Reformasi
Atas kesadaran rakyat yang dipelopori mahasiswa, dan cendikiawan mengadakan suatu gerakan reformasi dengan tujuan memperbaharui tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa, bemegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
2. Dasar Filosofi Reformasi
Agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa diantaranya sebagai berikut: (1)adili Soeharto dan kroni-kroninya; (2) amandemen Undang-Undang dasar 1945; (3) penghapusan dwifungsi ABRI; (4) otonomi daerah yang seluas-luasnya; (5) Supermasi hukum; (6) pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Kronologi Reformasi
Kabinet Pembangunan VII dilantik awal Maret 1998 dalam kondisi bangsa dan negara krisis, yang mengundang keprihatinan rakyat. Memasuki bulan Mei 1998 mahasiswa di berbagai daerah melakukan unjuk rasa dan aksi keprihatinan yang menuntut: (1) turunkan harga sembilan bahan pokok (sembako); (2) hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (3) turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan.
Secara kronologi terjadinya tuntutan reformasi sampai dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan sebagai berikut: (1) pada tanggal 10 Mei 1998 perasaan tidak puas terhadap hasil pemilu dan pembentukan Kabinet Pembangunan VII mewarnai kondisi politik Indonesia. Kemarahan rakyat bertambah setelah pemerintah secara sepihat menaikkan harga BBM. Namun keadaan ini tidak menghentikan Presiden Soeharto untuk mengunjungi Mesir karena menganggap keadaan dalam negeri pasti dapat diatasi; (2) pada 12 Mei 1998 semakin banyak mahasiswa yang berunjuk rasa membuat aparat keamanan kewalahan, sehingga mereka harus ditindak lebih keras, akibatnya bentrokan tidak dapat dihindari. Bentrokan aparat keamanan dengan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang berunjuk rasa tanggal 12 Mei 1998 mengakibatkan empat mahasiswa tewas tertembak yaitu Hery Hartanto, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan serta puluhan mahasiswa dan masyarakat mengalami luka-luka.Peristiwa ini menimbulkan masyarakat berduka dan marah sehingga memicu kerusuhan masa pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitamya. Penjarahan terhadap pusat perbelanjaan, pembakaran toko-toko dan fasilitas lainnya; (3) pada 13 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan ikut berduka cita ats terjadinya peristiwa Semanggi. Melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan presiden menyatakan atas nama pemerintah tidak mungkin memenuhi tuntutan para reformis di Indonesia; (4) pada 15 Mei 1998 Presiden Soeharto tiba kembali di Jakarta, oleh karena itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyiagakan pasukan tempur dengan peralatannya di segala penjuru kota Jakarta; (5) Presiden Soeharto menerima ketatangan Harmoko selaku Ketua DPR/MPR RI yang menyampaikan aspirasi masyarakat untuk meminta mundur dari jabatan Presiden RI; (6) pada 17 Mei 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR RI untuk meminta Soeharto turun dari jabatan presiden Republik Indonesia; (7) pada 18 Mei 1998 Ketua DPR/MPR RI Harmoko di hadapan para wartawan mengatakan meminta sekali lagi kepada Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden RI; (8) pada 19 Mei 1998 beberapa ulama besar, budayawan, dan toko cendiriawan bertemu Presiden Soeharto di Istana Negara membahas reformasi dan kemungkinan mundurnya Presiden Soeharto, mereka ini adalah : Prof. Abdul Malik Fadjar (Muhammadiyah), KH. Abdurrahman Wahid (PB NU), Emha Ainun Nadjib (Budayawan), Nurcholis Madjid (Direktur Universitas Paramadina Jakarta), Ali Yafie (Ketua MUI), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Guru Besar Universitas Indonesia), K.H. Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono(Muhammadiyah), Ahmad Bagja (NU), K.H. Ma’ruf Amin (NU). Sedangkan di luar aksi mahasiswa di Jakarta agak mereda saat terjadi kerusuhan masa, tapi setelah kejadian itu pada tanggal 19 Mei 1998 mahasiswa yang pro-reformasi berhasil menduduki gedung DPR/MPR untuk berdialog dengan wakil rakyat walaupun mendapat penjagaan secara ketat aparat keamanan; (9) pada 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berencana membentuk Komite Reformasi untuk mengkompromikan tuntutan para demonstran. Namun, komite ini tidak pernah menjadi kenyataan karena dalam komite yang mayoritas dari Kabinet Pembangunan VII tidak bersedia dipilih. Pada suasana yang panas ini kaum reformis diseluruh tanah air bersemangat untuk menuntur reformasi dibidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk diminta pertimbangan dalam rangka membentuk "Komite Reformasi" yang diketuai Presiden. Namun komite ini tidak mendapat tanggapan sehingga presiden tidak mampu membentuk Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi; (10) dengan desakan mahasiswa dan masyarakat serta demi kepentingan nasional, tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto meleetakkan kekuasaan didepan Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi pengganti presiden; (11) pada 22 Mei 1998 setelah B.J. Habibie menerima tongkat estafet kepemimpinan nasional maka dibentuk kabinet baru yang bernama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Read more...

DAFTAR ISI

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP